Trend Partisipasi Politik Pemuda Menurun
MATARAM-Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Kota
Mataram menggelar seminar politik dengan tema ‘’Peran Kaum Muda Membangun
Bangsa’’. Dalam seminar yang digelar di Kampus FH UMM pada tanggal 13 Desember
2013 itu, hadir sejumlah pembicara. Diantaranya Ketua Divisi Hukum dan
Pengawasan KPU Lombok Barat (Lobar) Umar Ahmad Seth dan Direktur Rinjani
Institute Ayatullah Hadi.
Dalam paparannya, Divisi Hukum dan
Pengawasan KPU Lombok Barat (Lobar) Umar Ahmad Seth mengatakan saat ini,
terjadi penurunan partisipasi pemuda dalam pemilu. Sebagai gambaran,
dalam Pemilukada Lobar belum lama ini, dari 80 persen pemilih pemula, tingkat partisipasi
hanya 60 persen.
‘’Ini dikhawatirkan berlanjut, tidak
hanya di Pemilu Legislatif Lobar, tapi juga secara keseluruhan di wilayah NTB,’’
katanya di hadapan ratusan peserta seminar.
Kepada wartawan dia menyampaikan,
kekhawatiran itu beralasan, karena saat ini ada kecenderungan pemuda apatis
dalam partisipasi politik. Mereka memilih aktif di “dunia” mereka sendiri,
ketimbang harus menentukan masa depan daerah dengan memilih pemimpin sesuai
nuraninya. “itulah yang terjadi di Lombok Barat, kami khawatir ini (partisipasi
menurun) terjadi di Pilegislatif sampai Pilpres,” kata Umar.
Bagaimana solusinya? Menurut Umar,
metode ceramah, seminar atau presentasi monolog harus sudah ditinggalkan. Pola
ini dianggap sudah usang untuk memantik partisipasi pemuda dalam politik.
“Seharusnya kita sudah tinggalkan pola ini, termasuk semintar semacam ini.
Harus ada perubahan pola, dengan memberikan sentuhan berbeda,” kata Umar.
Sentuhan dimaksudnya, dengan pendekatan
langsung kepada pemuda. “Dimana mereka sering nongkrong, datangi mereka. Apakah
itu di Udayana, taman Sangkareang, atau di Bundaran Gerung, harus kita datangi,
ajak diskusi tentang pandangan mereka terhadap politik, baru kemudian berikan
pemahaman soal partisipasi,” terangnya. Jajarannya di KPU juga
akan berpikir keras, bagaimana memadukan antara hobi para pemuda, kemudian
dikombinasikan dengan sosialisasi politik. Karena pada dasarnya,
instrument apapun bisa dijadikan sarana sosialisasi, terpenting menurut Umar,
substansi tentang partisipasi politik itu bisa diterima para pemuda.
Dikesempatan yang sama, Direktur Rinjani
Institute, Ayatullah Hadi memahami apatisme pemuda dalam politik ini dipicu
markanya politisi busuk, merajelalnya korupsi, kegaduhan di internal partai
politik itu sendiri. Tapi dengan tetap apatis, atau marah sekalipun, justru
menurutnya tidak akan menghasilkan apa apa, karena pada dasarnya
sikap itu hanya diam. “Di Indonesia, ada 64 juta pemuda sebagai pemilih
potensial. Bisa dibayangkan jika mereka ini apatis terhadap politik, lantas
bangsa ini harus berharap kepada siapa untuk memilih pemimpin kalau tidak dari
pemuda,” kata Ayat, sapaannya.
Sarannya, yang perlu dilakukan adalah
bergerak, advokasi, kampanye anti politisi busuk atau anti politisi hitam.
Dengan cara ini, pemuda sudah bisa memberi kontribusi untuk Pemilu yang sehat,
memberi pencerahan kepada masyarakat tentang politisi busuk. Cara ini justru
menurutnya lebih bermanfaat ketimbang hanya menghujat tanpa gerakan. “Pemuda
harus jadi hakim bagi proses demokrasi di Indonesia ini. Karena sesungguhnya,
angkatan muda lah yang menentukan nasib bangsa,” ujarmya memberi semangat.
Dosen Ilmu Politik di FISIP UMM ini
berharap kepada penyelenggaran pemilu, agar menentukan langkah tepat
sosialisasi detail tentang figur, khususnya saat Pemilu legislatif nanti. Yang
dilihatnya, dalam sosialisasi hanya tercantum by name by address dan
partai. “Ini tidak cukup untuk menilai apakah politisi itu busuk atau tidak,” kritiknya.
Kepada KPU disarankannya mencantumkan track record figur itu di
kehidupan sosialnya, perannya di lembaga tertentu. Agar masyarakat mudah
mengenal sekaligus menganalisis, apakah politisi itu layak dipilih atau tidak. (Sumber:
Suara NTB)
0 komentar:
Posting Komentar